Menjadi Si Pemilih

 Saya baru saja menginjak usia 26 tahun bulan lalu. Usia yang mungkin bagi sebagian orang dirasa cukup matang untuk bisa membangun keluarganya sendiri. Sering saya ditanya, apakah saya pernah punya target untuk menikah? Dulu mungkin iya, di usia belasan akhir hingga dua puluhan awal adalah usia di mana saya masih menjadi seorang gadis muda yang naif. Saya pikir bahwa pernikahan seperti sebuah dongeng, akhir yang seharusnya happy ending. Sukurlah, saya tidak memutuskan menikah di usia itu. Tidak terbayang rasanya, apa jadinya rumah tangga saya kalau saya nekat membangunnya di atas pondasi yang rapuh, berpersepsi bahwa pernikahan adalah pintu keluar dari setiap kesulitan. Pernah saya membaca, menikah adalah memilih jenis masalah yang ingin kamu tambahkan dalam hidup kamu. Dulu mungkin saya tidak mengerti, bagaimana bisa sebuah ikatan sakral yang juga merupakan ibadah dianggap sebagai jenis masalah baru dalam kehidupan kita, sampe akhirnya saya bertumbuh, saya berkembang dan kemudian memandang kehidupan dari sudut yang lebih luas. Bahwa ternyata pernikahan tidak sesederhana yang dulu saya pikirkan.

Saya tidak punya banyak pengalaman dalam hal berhubungan dengan laki-laki, sesuatu yang entah kenapa masih membuat saya merasa tidak percaya diri. Menuliskan ini seolah menyatakan bahwa saya bisa saja dengan mudah dibodohi lelaki manapun karna kurangnya jam terbang dalam hal relationship. Banyak yang bilang kepada saya bahwa saya harus berhenti menjadi si terlalu pemilih. "Jangan terlalu idealis, kamu gak akan nemu orang yang 100% cocok dengan kamu!" kurang lebih begitu nasihat yang banyak sekali orang katakan. Seolah saya mempunyai daftar yang mengada-ngada mengenai syarat lelaki yang ingin saya jadikan pasangan hanya karena saya berujar ingin lelaki dengan kriteria spesifik. Banyak pendapat yang disampaikan kepada saya bahwa alasan minimnya pengalaman romansa saya karna saya terlalu pemilih.

Apa sih salahnya menentukan syarat ataupun kriteria yang kita inginkan atas pasangan hidup kita? Kenapa hal tersebut seolah salah, padahal saat kita membeli barang saja kita menetapkan syarat, kriteria dan standar tertentu sebelum memutuskan untuk membayar barang tersebut. Katakanlah sebuah tas, ketika kita akan membeli sebuah tas kita pasti menentukan, tas seperti apa yang kita butuhkan? model apa yang kira-kira sesuai? dari material yang seperti apa? dengan budget berapa? semuanya tentu kita sesuaikan. Saya tidak tau dengan yang lain, tapi untuk saya pribadi dengan gaya hidup saya saat ini, saya belajar untuk hanya membeli tas yang memang saya butuhkan, dengan model dan material yang sesuai dan tentunya saya inginkan, dan dengan harga yang sesuai dengan budget yang saya tentukan. Sama halnya dengan memilih pasangan hidup, saya mencari sosok yang sayah butuhkan. Apa yang saya butuhkan mungkin berbeda dengan apa yang orang lain butuhkan. Menurut saya menjadi Si Pemilih bukanlah hal yang buruk. Ketika dua orang sepakat menjalani sebuah komitmen, mereka memilih dan sekaligus dipilih. Kita tidak mungkin menerima setiap hati yang datang, tidak mungkin menerima setiap orang yang mampir. Kita menerima mereka yang memang hati kita pilih untuk kita terima dan tentunya mereka juga harus menerima kita sebagaimana kita menerima mereka.

Tulisan ini dibuat karena tadi siang beberapa teman berkata bahwa saya tidak akan pernah  mendapatkan pasangan yang tidak akan melarang saya melakukan apapun  sebelum kami terikat komitmen di mata Tuhan dan negara, hanya karena saya ingin lelaki yang mengarhagai saya dan tidak akan melarang apapun sebelum saya sah menjadi istri mereka. Menurut mereka, ego lelaki tidak akan  mau menerima keinginan saya untuk tidak dilarang melakukan apapun dan menjadi apapun. Saya tidak ngerti, kenapa saya harus tetap memilih menikahi lelaki yang bahkan sejak pacaran saja sudah banyak memberikan larangan? atau memang saya yang terlalu naif, karena memang sosok yang saya inginkan itu wujudnya seperti unicorn tidak nyata. LOL. Entahlah, wallahualam. Satu yang pasti, saya tidak yakin apa saya bisa lebih bahagia jika saya memiliki pasangan tetapi dia banyak memberikan larangan yang jelas tidak akan saya ikuti, saya benci dilarang-larang. Semakin saya dilarang, semakin saya penasaran untuk melakukannya. Kok rasa-rasanya saya akan lebih bahagia hidup seperti sekarang, sendirian tanpa larangan tapi tahu batasan daripada harus menurunkan standar saya hanya demi saya tidak lagi sendirian. Saya masih berharap yang terbaik, semoga sosok baik yang Si Pemilih ini inginkan bisa Tuhan kirimkan secepatnya. Agar kami punya waktu bersama di dunia lebih banyak. Tapi menjelang waktunya Tuhan temukan, boleh yah saya tetap jadi Si Pemilih yang memilih, memilah dan juga dipilih dan dipilah. Tuhan pasti tau kenapa saya banyak memilih, semoga Tuhan tidak marah kepada saya karena saya mengimani kalimat "Never settle for less".


Salam,



A


CONVERSATION

0 comments:

Back
to top