Memikul Amarah

 Ada hari-hari di mana saya begitu marah. Begitu marahnya sampai saya marah karena membiarkan diri saya dikendalikan rasa marah. Kemarahan yang tidak henti-hentinya membuat saya bertanya-tanya. 

"Kepada siapa marah saya tujukan?"

"Atas dasar hal apa saya marah"

"Apakah saya marah pada orang lain? ataukah saya marah kepada diri sendiri?"

"Mengapa saya membiarkan diri saya cepat dikuasai rasa marah?"

"Apakah saya harus seterusnya memikul rasa marah yang saya bahkan tidak tahu penyebabnya?"

Masih banyak lagi pertanyaan yang saking banyaknya saya malas untuk sekadar mengingatnya. Amarah yang saya rasa ini, entah bentuk dari luka dan trauma masa lalu yang membentuk saya saat ini, entah memang kepribadian saya memikul amarah yang besar tanpa saya sadari, entahlah. Saya sudah berhari-hari bertanya mengenai amarah ini, namun saya tak kunjung menerima jawabannya.

Kadang saya merasa bahwa amarah yang saya tujukan kepada orang lain ada amarah yang saya pikul dalam diri terhadap diri saya sendiri, terkadang saya merasa diri saya cukup jahat karena menjadikan orang lain kambing hitam sebagai sasak emosi tempat saya memproyeksikan amarah saya. Kadang saya merasa teramat berdosa dan bersalah, sampai rasanya diri saya kembali dipenuhi oleh rasa marah terhadap diri sendiri. Saya marah karena saya tak cukup mengenal diri sendiri, saya marah karena saya berperilaku tidak baik terhadap orang lain, saya marah karena saya selalu merasa berhak marah, saya marah...

Apakah saya harus selalu menemukan penyebab semua amarah saya? ataukah saya seharusnya diam saja dan berdamai, memejamkan mata, menekan emosi yang rasanya meluap dan membuat saya kewalahan? rasanya saya marah sekali setiap saya merasa kewalahan dengan banjirnya emosi yang tiba-tiba merubungi hati saya, saya marah karena ketidak becusan dan ketidak sanggupan diri saya memikul luapan emosi tanpa tau cara mengendalikannya.

Saya kesulitan mengeluarkan ekspresi amarah dalam bentuk verbal, entah sejak kapan semuanya terjadi, saya cenderung memilih diam, menarik diri, mengurangi interaksi, mencoba melindungi diri, membatasi diri saya seolah siapapun bisa menyakiti saya dan saya akan bertambah marah karenanya. Saya ingin berdamai, saya ingin menerima rasa marah, saya ingin berhenti memikul amarah, saya ingin menuangkan emosi amarah saya dengan benar tanpa perlu menyakiti siapapun, saya ingin menjadi cukup baik untuk diri saya sendiri, saya ingin berhenti marah terhadap diri sendiri.

Memikul amarah, bagian dari siklus kehidupan saya. Selalu ada titik-titik tertentu di mana saya begitu marah, begitu marah hingga tidak tahu bagaimana caranya saya berhenti marah. Saya hanya ingin berhenti memikul amarah dan mulai berdamai dengan keadaan. 



Ayu


CONVERSATION

0 comments:

Back
to top