Memaknai ketidakpulangan

Seharusnya pagi ini saya terbangun di kamar saya yang nyaman di rumah orangtua saya yang jaraknya ratusan ribu kilo meter jauhnya dari tempat saya berada saat ini. Harusnya pagi ini ketika saya keluar dari kamar, ibu saya akan bertanya “Mbak, masak apa ya enaknya hari ini?”. Harusnya saat saya menulis tulisan ini, saya sedang bercengkrama dengan adik-adik saya di minggu yang cerah di ruang keluarga saya. Bukannya saya tidak mensyukuri apa yang saya punya dengan terus menuliskan kata harusnya, harusnya yang tidak selalu harus, selama Tuhan belum setuju. Harusnya saya hanyalah harapan saya.

Kenyataannya saya sendiri, di sebuah kamar di rumah uwak saya. Di kota yang selama ini saya anggap seperti rumah sendiri. Di kota saya menggantung banyak sekali mimpi-mimpi. Keputusan pindah ke kota ini saya ambil dengan sadar, saya paham betul semua konsekuensinya, termasuk waktu kebersamaan dengan keluarga yang akan berkurang hampir seluruhnya. Saya harus menjalani hidup saya sendiri, meskipun secara teknis saya tinggal di rumah kakak bapak saya, saya tidak benar-benar sendiri, namun secara rasa saya merasa sendiri, karena setiap kita menjalani peran dan kehidupan sendiri-sendirikan.

Dari dua bulan lalu, ketika pergerakan angka kejadian Covid-19 semakin tinggi, kekhawatiran akan kemungkinan tidak mudik menghantui pikiran saya, tapi di atas itu semua, kekhawatiran keselamatan kedua orangtua beserta ketiga adik saya rasanya lebih mendominasi pikiran saya. Saya bahkan sampe lupa, berapa kali saya mengalami mental breakdown karena penyakit ini. Berapa kali saya marah besar pada orangtua saya karena mereka tidak mau mengikuti saran saya untuk sepenuhnya #dirumahsaja. Masa pandemi ini adalah masa terberat selama perjalanan saya di rantau. Saya harus mengurusi perasaan sendiri yang kebingungan, takut, sedih, khawatir, marah, kecewa, bersamaan dengan harus menenangkan anggota keluarga yang lain sembari terus melindungi mereka dari berita-berita bohong yang hanya membuat mereka semakin khawatir. Sebulan pertama #dirumahsaja berjalan cukup berat bagi saya, saya keteteran dengan gelombang emosi yang saya tidak kenali, cukup sibuk sampai kekhawatiran untuk tidak bisa mudik saya lupakan.

Ketika kondisi mental saya cukup membaik, setidaknya menurut penilaian saya pribadi. Saya mulai dihantam kenyataan bahwa angka kasus Covid-19 terus meningkat, dan kemungkinan tidak bisa mudik akan benar terjadi. Awalnya saya tentu saja denial, masih mencoba berpikiran positif “Oh, mungkin akhir mei kondisi ini akan membaik” terlalu naïf memang, apalagi untuk seseorang yang sedang mempelajari Ilmu Kesehatan Masyarakat. Saya tidak ingat berapa lama fase denial ini berjalan, yang saya ingat beberapa hari sebelum bulan april berakhir, saya sampai di fase penerimaan dimana akhirnya saya mengajukan pengembalian dana atas pemesanan tiket mudik saya. Saya ingat betul momen itu, setelah selesai sholat maghrib, masih menggunakan mukena dengan berat hati saya mengajukan pengembalian dana, yang kemudian diikuti isak tangis tertahan mencoba menerima fakta, tidak ada pulang di lebaran kali ini.

Ramadan tahun ini saya lalui biasa saja, tidak ada euphoria akan apapun. Tidak ada persiapan menyambut lebaran yang biasanya saya dan keluarga lakukan dengan semangat, yang ada hanya mencoba berbesar hati setiap harinya karena yang terjadi saat ini pasti yang terbaik. Ada malam-malam dimana saya menangis hebat tanpa ada yang tau karena merasa sangat kesepian dan ingin menyerah untuk pulang saja. Biasanya ketika malam itu datang, saya biarkan saja emosi saya sesekali menang, saya menangis sampai kepala terasa sakit dan akhirnya kelelahan dan tertidur. Niatan untuk nekat pulang hanya sebatas niatan. Saya tidak pernah benar melakukannya. Ada hari-hari dimana saya membanjiri kolom percakapan aplikasi Whatsapp teman saya dengan segala keluhan dan keinginan saya pulang, tapi saya sekali lagi sayangnya hanya punya niat, tapi tidak pernah punya keberanian.

Beberapa hari terakhir, emosi saya sepertinya sedang diuji. Di hari-hari yang saya harap saya sedang mempersiapkan kepulangan ke rumah, namun sayangnya tidak. Saya malah melihat banyak sekali orang yang tidak memikirkan orang lain, merasa mungkin kepentingan mereka lebih penting. Menyepelekan protocol kesehatan hanya demi sebuah konten. Patah hati rasanya. Mungkin bagi sebagian orang, lebaran tidak mudik, bukanlah masalah besar. Tapi tidak pulang ternyata hal yang besar buat saya. Keluarga selalu menjadi titik terlemah dalam hidup saya. Saya kira karena saya sudah pernah melewati beberapa kali Idul Adha jauh dari rumah, sudah pernah merayakan pagi pertama Idul Fitri di kantor saat saya bekerja dulu, semua itu akan membuat saya merasa lebih terbiasa dan kuat. Nyatanya tidak juga.di penghujung Ramadan ini saya tidak hentinya berpikir bagaimana caranya agar tidak menangis ketika saya harus bertatap muka dengan keluarga saya via layar ponsel saya, jujur masih belum terbayang rasanya. Rasanya melihat bagaimana orang lain bertindak seenaknya, saya ingin marah dan mengamuk. Saya merasa apa yang saya lakukan hampir 3 bulan terakhir percuma, karena ternyata yang lain tidak bisa sama patuhnya. Kita tidak bisa memotong penyebaran virus hanya dengan beberapa orang yang patuh, kita butuh semua orang patuh. Rasanya frustasi tiap memikirkan hal itu.

Lalu subuh sebelum saya menuliskan tulisan ini, saya menemukan video Ernest Prakarsa di explorer Instagram saya. Yang intinya dia meyakinkan saya bahwa apa yang dia, saya dan mereka yang patuh lakukan tidak akan sia-sia, ini adalah perbuatan baik yang kita lakukan. Perbuatan baik yang kita harap jadi kebaikan untuk semua. Tidak ada kebaikan yang sia-sia. Saya rasa saya harus selalu mengingat kalimat itu tiap kali rasanya ingin menyerah. Akhirnya saya putuskan, saya memaknai ketidakpulangan ini sebagai sebuah bentuk kebaikan. Tidak semua kebaikan itu mudah dijalani. Beberapa cukup sulit, tapi akan selalu ada manfaat dari setiap kebaikan. Biarlah ketidakpulangan saya kali ini menjadi proses pendewasaan saya, tidak ada pelaut yang tangguh di lautan yang tenang, bukan? Setelah krisis ini kita akan tumbuh jadi lebih kuat dan hebat. Saat ini saya belajar menerima apapun yang orang lain mau lakukan, saya hanya ingin fokus dengan diri saya, keluarga saya dan teman-teman saya. Saya hanya mau mengetuk pintu langit, meminta agar setiap doa saya agar tuhan selalu bisa menjaga mereka yang saya sayang hingga waktunya kami bertemu lagi. Saya lahir di dunia ini tanpa membawa apapun, semua Tuhan yang kasih, sekarang semua pemeberian Tuhan ini saya kembalikan pada Tuhan, agar Dia yang menjaga mereka semua, karena saya belum tentu sanggup menjaga mereka semua. Saya titipkan semua yang saya sayang termasuk diri saya dalam perlindungan Dia.


Bandung, 17 mei 2020


Ditulis dengan penuh sesak dan isak
Ayu

CONVERSATION

0 comments:

Back
to top